Rabu, 02 September 2009

SEJARAH BERDIRINYA MASJID AN-NUR NURUL MIFTAHUSSOFYAN

Bangunan Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan di Dusun Gomang, Desa Lajulor, Kecamatan Singgahan, Tuban terbilang unik jika dibandingkan masjid pada umumnya. Masjid yang dibangun 18 Agustus 1994 di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo, Gomang itu hanya bertumpu pada satu tiang besar dari kayu jati berdiameter 85 centimeter dan tinggi 27 meter yang di ujung atasnya dihiasi akar pohon jati.

Di bawah terik matahari dalam suasana bulan puasa, tampak para santri Ponpes Walisongo berduyun-duyun ke masjid di sebalah selatan asrama untuk menjalankan salat dluhur usai mengaji bersama sang kiai. Muda mudi berbalut busana Islami itu memenuhi masjid berlantai kayu yang terletak di tebing perbukitan tengah hutan jati KPH Jatirogo.

Surya yang berkunjung ke tempat itu, Minggu (30/8), ditemui KH Noer Nasroh Hadiningrat, pengasuh serta pendiri Ponpes Walisongo dan Masjid An Nur. Di halaman pondok yang berjarak sekitar 73 km dari kota Tuban itu, kiai kelahiran 1954 ini bercerita tentang kisah berdirinya pondok dan masjid tersebut.

Awalnya, setelah mondok di berbagai ponpes di Indonesia, Noer Nasroh diminta kiainya untuk mengabdikan ilmunya di Dusun Gomang yang kala itu meruakan daerah terisolir dengan penduduk hanya 12 kepala keluarga (KK). Para penduduk saat itu menganut aliran Sapto Darmo yang menyembah matahari dan bersembahyang menghadap ke arah timur. Tak hanya itu, pada zaman tersebut warga Gomang selalu bersembunyi setiap kali ada polisi atau pamong desa datang.

Diceritakan Kiai Nur, ketika pertama datang ke susun tersebut, ia mengawali syiar Islam dengan mengajarkan baca tulis kepada warga. Setelah itu, membantu mereka membangun saluran air dan jalan, kemudian perlahan-lahan memasukkan ajaran Islam di dalamnya. Sampai pada tahun 1977 Kiai Nasrullah mendirikan Ponpes Walisongo dengan santri saat itu hanya enam orang.

Hari demi hari, nama Ponpes Walisongo makin dikenal. Sampai tahun 1994 tercatat ada 800 santri mondok di sana. “Sampai tahun itu, saya masih kebingungan lantaran belum punya masjid. Sampai-sampai, sempat empat kali berpindah lokasi untuk salat Jumat. Mulai dari menggunakan musala hingga memanfaatkan ruang pengajian,” kisah bapak enam anak ini.

Dengan modal uang Rp 750.000, Kiai Nur Nasrullah dan para santrinya lalu bertekad mendirikan masjid. “Saat itu pembelian kayu dibatasi oleh pemerintah. Dan jika melebihi batas harus melalui proses yang sangat sulit,” katanya.

“Tapi alhamdulillah, saya mendapat bantuan dari Pak Miftah yang saat itu menjabat ADM Perhutani dan Pak Sofyan sebagai Asper. Makanya, untuk mengenang, nama kami bertiga diputuskan untuk digunakan sebagai nama masjid ini (An-Nur Nurul Miftahussofyan, -Red),” sambungnya.

Dari semua bahan yang sudah disiapkan untuk membangun masjid dengan arsitektur yang telah disiapkan oleh Kiai Nasroh sendiri, yakni berkaca pada ajaran Walisongo, diputuskan pembangunan masjid dimulai hari Minggu. Untuk tahap awal, yang paling disiapkan pendiriannya adalah kayu sebagai tiang utama masjid. Pasalnya, untuk mendirikan kayu sebesar itu tentunya butuh cara dan tenaga lebih.

‘Ditiup’ Allah
Mendengar kabar rencana pendirian masjid unik ini, banyak warga dari daerah lain ingin melihat langsung, termasuk Bupati Tuban saat itu. “Awalnya, disiapkan dengan cara diberi pengait tali dari kulit bambu. Tapi menjelang pembangunan saya berpikir beberapa kali karena menganggap hal itu sepertinya tidak mungkin. Masak kayu sebesar itu hanya ditarik bersama-sama dengan tali dari kulit bambu?,” ujarnya.

“Karena itu, sebelaum hari H, tepatnya hari Kamis, saya berusaha mendirikan kayu tersebut sendirian. Dan anehnya, saat tali yang terbuat dari kulit bambu tersebut saya tarik, tiang utama sebesar itu bisa berdiri,” tambahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar