Rabu, 02 September 2009

Ponpes Walisongo Gomang Tuban Mencetak Santri Peduli Lingkungan


Berdiri di sebuah areal perbukitan dengan ketinggian 470 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi hutan jati membuat Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Desa Lajolor, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, terasa teduh dan sejuk. Jika menempuh rute perjalanan Bojonegoro-Jatirogo-Tuban, ponpes ini terletak 37 kilometer dari Bojonegoro dan 45 kilometer dari Tuban.

Salah satu keunggulan ponpes ini selain mengajarkan ilmu agama, juga membentuk santrinya untuk mencintai lingkungan. Memang santri tidak hanya dididik ilmu agama, tetapi juga digembleng agar mencintai lingkungan. Para santri sering dilibatkan dalam penghijauan, reboisasi, pemeliharaan dan pengayaan tanaman hingga penerapan konservasi tanah pada lahan kritis dan tidak produktif serta penyelamatan sumber mata air.

Penghijauan dilakukan di petak 11 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Mulyoagung, Kesatuan Pemangkutan Hutan Parengan seluas 78,3 hektar, dan petak 26 seluas 23 hektar untuk penyelamatan mata air. Penyelamatan mata air di Pacing seluas 5 hektar, Prataan 8 hektar, dan Malo 5 hektar. Selain itu, penghijauan juga dilakukan di hutan rakyat di Podang 38 hektar, Ngaglik 65 hektar, Banyubang 4 hektar, Mbaro 8 hektar, Kumpulrejo 1 hektar, dan Gomang 5 hektar. Rehabilitasi penyelamatan sumber mata air dilakukan di beberapa titik.

"Dulu saat hutan rusak, dari 17 mata air hanya tinggal delapan yang berair. Setelah ada upaya rehabilitasi, kini 14 mata air telah menyemburkan air. Tinggal tiga yang mulai keluar sedikit demi sedikit," kata KH Noer Nasroh Hadiningrat, Pengasuh Pondok Pesantren Walisongo Gomang, Rabu (28/1). Sumber mata air di Krawak saja bermanfaat untuk kebutuhan air bersih bagi 10 Desa di Kecamatan Montong dan delapan desa di Kecamatan Singgahan. Sumber mata air yang mengalir melalui Bendung Nglirip bisa mengairi 3.800 hektar sawah.

KH Noer menegaskan, ponpes juga mengembangkan sapi sistem bergulir bagi santri yang kurang mampu secara ekonomi. Saat ini telah berkembang menjadi 700 sapi termasuk bantuan dari alumni. Santri juga diikutsertakan untuk mendapatkan keterampilan menjahit, anyaman bambu dan rotan, ukir, las dan elektronika. Bekerja sama dengan PT Semen Gresik, santri dibekali pengetahuan dan keterampilan berwirausaha.

SMK Kehutanan


Untuk lebih meningkatkan peran ponpes terhadap kelestarian lingkungan hidup, Ponpes Walisongo Gomang, Tuban, merintis pendirian SMK Kehutanan pertama dan baru satu-satunya di Indonesia. Dengan SMK Kehutanan dimaksudkan sejak dini anak-anak bisa secara mendiri ikut mengelola hutan dan melestarikannya.

"Kalau hal tersebut berjalan efektif, selanjutnya hutan Indonesia, khususnya yang ada di bawah Perhutani KPH Parengan, akan kembali hijau. Ini merupakan komitmen kami mencetak kader yang peduli terhadap hutan dan lingkungan. Kami sangat mengharapkan partisipasi masyarakat luas mengenai pentingnya penanaman sejak dini tentang kelestarian hutan," papar KH Noer.

Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Parengan Kristomo mendukung penuh upaya Ponpes Gomang dalam pelestarian lingkungan hidup. Dengan kerja sama dengan Perhutani, Ponpes Gomang membuktikan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup. "Ini merupakan ponpes berbasis lingkungan yang membentuk santri sebagai generasi penerus cinta lingkungan," kata Kristomo saat berkunjung ke Ponpes Walisongo Gomang.

Sebagai pendukung Perhutani menyediakan lahan hutan untuk petak pendidikan untuk praktik siswa. Perhutani juga membantu kegiatan belajar dan mengajar termasuk instruktur di SMK Kehutanan. "Model penyulingan minyak kayu putih akan kami jadikan prototipe untuk kerja sama dengan sekolah yang ada di sekitar kawasan hutan di wilayah lainnya," katanya.

Ponpes Walisongo Gomang mengupayakan studi lanjut santri. Biaya pendidikan 15 siswa kelas XII dan 15 siswa kelas XI ditanggung Perum Perhutani KPH Parengan. KH Noer Nasroh mengatakan, bagi lulusan terbaik peringkat 1-3 diupayakan dibiayai ikatan dinas Perum Perhutani.

Seorang santri kelas X, Istiatur Rismayah Awaliyah, merasa bersyukur masuk di Ponpes Gomang. "Saya selain dapat ilmu agama juga dididik cinta hutan. Sangat menyenangkan sekali ketika praktik langsung tanam pohon atau menyetek tanaman," katanya. Hal sama dikemukanan Ahmad Fariz An dari Kudus. "Yang paling berkesan sikap perilaku kami lebih bagus dan kami lebih bisa mencintai lingkungan," tuturnya. "Saya senang bisa belajar dan praktik penyulingan minyak kayu putih," kata Naimatus Sholehah, santri dari Surabaya.

Rintisan awal

Saat ini ada sekitar 1.600 santri yang menetap di ponpes, terbagi dalam dua asrama putra dan putri. Para santri berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. KH Noer Nasroh menuturkan ponpes ini dirintis sejak tahun 1977 oleh KH Syarbini, santri KH Hasyim Asy'ary dari Ponpes Tebuireng Jombang. Pada awalnya di Gomang ada enam keluarga dengan aliran kepercayaan tertentu. Aliran itu dikhawatirkan melebar.

Saat itu ulama Nahdlatul Ulama berupaya melakukan pendekatan ke warga agar menjalankan kehidupan dan peribadatan sesuai syariah ahlus sunah wal jamaah. Sejumlah santri KH Syarbini diminta mengajarkan syariah agama Islam di Gomang. Mereka diharapkan bisa memberikan pengertian tentang Islam. "Misi itu kurang berhasil. Mereka tidak betah karena diancam dibunuh dan diusir penganut aliran itu," kata KH Noer Nasroh.

Akhirnya tugas itu diemban KH Noer Nasroh Hadiningrat. "Awalnya perjuangan sangat berat, anak-anak yang mengaji pada awalnya hanya 27 santri," ujar KH Noer Nasroh. Dikatakan, masyarakat Gomang pada 1970- an masih terisolasi dan terbelakang. Bila ada anggota TNI datang, warga berhamburan ke hutan. Bahkan saat shalat Idul Fitri maupun Idul Adha warga malah menggembala sapi.

KH Noer Nasroh lalu mencari cara pendekatan termasuk dengan menjadi sutradara kesenian sandur di Tuban. Gending dan nyanyiannya diubah dengan shalawat badar. "Saya juga ikut menggembala enam sapi ibu angkat saya untuk pendekatan berdakwah," tuturnya. Upaya itu tidak sia-sia, bahkan Ponpes Walisongo Gomang kini menjadi salah satu ponpes yang diperhitungkan.

SEJARAH BERDIRINYA MASJID AN-NUR NURUL MIFTAHUSSOFYAN

Bangunan Masjid An-Nur Nurul Miftahussofyan di Dusun Gomang, Desa Lajulor, Kecamatan Singgahan, Tuban terbilang unik jika dibandingkan masjid pada umumnya. Masjid yang dibangun 18 Agustus 1994 di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo, Gomang itu hanya bertumpu pada satu tiang besar dari kayu jati berdiameter 85 centimeter dan tinggi 27 meter yang di ujung atasnya dihiasi akar pohon jati.

Di bawah terik matahari dalam suasana bulan puasa, tampak para santri Ponpes Walisongo berduyun-duyun ke masjid di sebalah selatan asrama untuk menjalankan salat dluhur usai mengaji bersama sang kiai. Muda mudi berbalut busana Islami itu memenuhi masjid berlantai kayu yang terletak di tebing perbukitan tengah hutan jati KPH Jatirogo.

Surya yang berkunjung ke tempat itu, Minggu (30/8), ditemui KH Noer Nasroh Hadiningrat, pengasuh serta pendiri Ponpes Walisongo dan Masjid An Nur. Di halaman pondok yang berjarak sekitar 73 km dari kota Tuban itu, kiai kelahiran 1954 ini bercerita tentang kisah berdirinya pondok dan masjid tersebut.

Awalnya, setelah mondok di berbagai ponpes di Indonesia, Noer Nasroh diminta kiainya untuk mengabdikan ilmunya di Dusun Gomang yang kala itu meruakan daerah terisolir dengan penduduk hanya 12 kepala keluarga (KK). Para penduduk saat itu menganut aliran Sapto Darmo yang menyembah matahari dan bersembahyang menghadap ke arah timur. Tak hanya itu, pada zaman tersebut warga Gomang selalu bersembunyi setiap kali ada polisi atau pamong desa datang.

Diceritakan Kiai Nur, ketika pertama datang ke susun tersebut, ia mengawali syiar Islam dengan mengajarkan baca tulis kepada warga. Setelah itu, membantu mereka membangun saluran air dan jalan, kemudian perlahan-lahan memasukkan ajaran Islam di dalamnya. Sampai pada tahun 1977 Kiai Nasrullah mendirikan Ponpes Walisongo dengan santri saat itu hanya enam orang.

Hari demi hari, nama Ponpes Walisongo makin dikenal. Sampai tahun 1994 tercatat ada 800 santri mondok di sana. “Sampai tahun itu, saya masih kebingungan lantaran belum punya masjid. Sampai-sampai, sempat empat kali berpindah lokasi untuk salat Jumat. Mulai dari menggunakan musala hingga memanfaatkan ruang pengajian,” kisah bapak enam anak ini.

Dengan modal uang Rp 750.000, Kiai Nur Nasrullah dan para santrinya lalu bertekad mendirikan masjid. “Saat itu pembelian kayu dibatasi oleh pemerintah. Dan jika melebihi batas harus melalui proses yang sangat sulit,” katanya.

“Tapi alhamdulillah, saya mendapat bantuan dari Pak Miftah yang saat itu menjabat ADM Perhutani dan Pak Sofyan sebagai Asper. Makanya, untuk mengenang, nama kami bertiga diputuskan untuk digunakan sebagai nama masjid ini (An-Nur Nurul Miftahussofyan, -Red),” sambungnya.

Dari semua bahan yang sudah disiapkan untuk membangun masjid dengan arsitektur yang telah disiapkan oleh Kiai Nasroh sendiri, yakni berkaca pada ajaran Walisongo, diputuskan pembangunan masjid dimulai hari Minggu. Untuk tahap awal, yang paling disiapkan pendiriannya adalah kayu sebagai tiang utama masjid. Pasalnya, untuk mendirikan kayu sebesar itu tentunya butuh cara dan tenaga lebih.

‘Ditiup’ Allah
Mendengar kabar rencana pendirian masjid unik ini, banyak warga dari daerah lain ingin melihat langsung, termasuk Bupati Tuban saat itu. “Awalnya, disiapkan dengan cara diberi pengait tali dari kulit bambu. Tapi menjelang pembangunan saya berpikir beberapa kali karena menganggap hal itu sepertinya tidak mungkin. Masak kayu sebesar itu hanya ditarik bersama-sama dengan tali dari kulit bambu?,” ujarnya.

“Karena itu, sebelaum hari H, tepatnya hari Kamis, saya berusaha mendirikan kayu tersebut sendirian. Dan anehnya, saat tali yang terbuat dari kulit bambu tersebut saya tarik, tiang utama sebesar itu bisa berdiri,” tambahnya.

Kiai Nasroh mengaku heran juga saat itu. “Tapi alhamdulillah, dengan ‘bolah’ (disebul/`ditiup` Allah), kayu jati itu berdiri. Awalnya agak menceng, namun cepat-cepat saya luruskan sebelum ada orang lain yang tahu,” akunya. “Jadi, pendirian tiang utama itu tidak jadi dilaksanakan hari Minggu seperti yang dijadwalkan,” sambungnya.

Selang beberapa saat, warga yang mengetahui berdirinya kayu tersebut langsung berdatangan untuk melihat. Sementara para wanitanya langsung mendekati galian di bawah tiang dan memasukkan uang receh di dalamnya, seperti kisah pendirian keraton Mataram zaman dulu. “Mungkin kisah pendirian keraton Mataram yang membuat para perempuan desa di sini langsung memasukkan uang receh itu,” terangnya.

Berikutnya, pembangunan masjid dilanjutkann oleh Kiai Nasoh bersama para santrinya dengan mendapat bantuan dari sejumlah dermawan. “Semua pembangunan kita lakukan sesuai ajaran Nabi Sulaiman, bahwa dalam pembangunan masjid tidak diperkenankan mengeluarkan suara keras. Termasuk dalam pemasangan batu-batunya,” ujarnya.

“Kalau Nabi Sulaiman menyuruh burung hud-hud mengambil besi kuning guna memotong batu agar tidak bersuara, kita hanya bisa memasang satu persatu batu bata dengan bacaan Ayat Kursi sambil berusaha tidak mengeluarkan suara sama sekali,” lanjutnya.

Satu tiang utama masjid tersebut dibantu dengan delapan tiang kecil sebagai penyangga atap pinggir masjid. Dalam peletakannya, delapan tiang tersebut ditata sedemikian rupa sehingga ketika dilihat dari berbagai sisi tampak jumlahnya sembilan tiang.

Menurut Kiai Nasrullah, ini merupakan simbol perjuangan Wali Sembilan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan cara fleksibel mengikuti adat masyarakat. “Tidak radikal,” katanya.

Selain itu, di atas atap masjid dibangun beberapa sap ditempatkan gembol (akar) kayu jati sebagai mahkota. Masjid tidak menggunakan kubah dari aluminium atau semacamnya seperti yang umumnya digunakan sebagian masjid di Indonesia.

Tak hanya itu, semua yang ada di dalam masjid tersebut juga mengandung arti. Satu tiang tersebut merupakan petunjuk bahwa setiap yang masuk dalam masjid bisa mengingat zat Allah yang Maha Satu dengan kebesaran dan ketinggiannya. Sedangkkan panjang tiang 27 meter merupakan simbol bahwa salat diwahyukan kepada Rasulullah melalui Isro’ Mi’roj pada 27 Rajab.

Lebar masjid 17 meter berarti Al Quran yang diturunkan pada tanggal 17 Ramadan, panjang masjid 40 meter berarti nabi menerima wahyu pertama pada usai 40 tahun. Sementara tiang tambahan kanan dan kiri yang berisi delapan tiang ditambah satu tiang utama menunjukkan bahwa Islam masuk di tanah Jawa atas prakarsa sembilan wali.

Lambat laun, masjid ini makin dikenal masyarakat meski tempatnya berada di tengah hutan di daerah perdalaman. Termasuk Ponpes Walisongo juga semakin kesohor seantero Nusantara. Bahkan, saudara ipar Sultan Hassanah Bolkia dari Brunai Darussalam bernama Abdul Hamid, sempat nyantri selama tiga tahun di sana. Dan saat ini, jumlah santri tercatat ada 1.600 santri dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk dari Kalimantan, Sumatera, dan daerah lainnya.